config

Minggu, 03 Desember 2017

Mencegah Perkawinan Dini

Perkawinan usia anak-anak di Indonesia tidak bisa dianggap enteng. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan angka perkawinan usia dini makin memprihatinkan. Saat ini satu dari empat anak perempuan umur 20-24 tahun yang disurvei menyatakan menikah sebelum usia 18 tahun.

Sayangnya, masalah ini tertutup oleh persoalan-persoalan bangsa lainnya. Selain hiruk-pikuk penegakan hukum terkait korupsi, narkotika, terorisme, rakyat juga disuguhi akrobat elite politik yang tengah memikirkan nasib mereka dan kelompoknya di Pemilu 2019.

Di lingkup kesejahteraan dan sosial masyarakat, perkawinan usia dini kalah seksi dibandingkan isu lain seperti lamanya jam mengajar, kurikulum pendidikan, layanan kesehatan, atau keterampilan dan lowongan kerja. Padahal, mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah perkawinan usia dini cukup besar, yakni 340.000 pernikahan setiap tahun. Angka itu menempatkan Indonesia pada peringkat tujuh besar dunia dalam hal perkawinan usia dini. Bahkan, Kepala BKKBN Surya Chandra Surapty menyatakan, kondisi perkawinan anak di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Perkawinan usia dini jelas lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Pernikahan dini lebih banyak menjadi beban kaum perempuan karena stereotip bahwa kaum lelaki adalah kepala rumah tangga, yang bisa memberikan nafkah, atau tempat bergantung anggota keluarga lainnya.

Berdasarkan penelitian selama ini, kaum perempuan lebih banyak ada di posisi “korban”. Dari faktor penyebab terjadinya pernikahan dini, misalnya, anak perempuan dianggap sebagai solusi persoalan ekonomi. Keluarga yang terbelit utang memberikan anak perempuannya sebagai imbalan utang. Atau yang alam kondisi ekonomi kurang, memberikan anak perempuannya agar dipinang oleh lelaki yang mampu secara ekonomi, meski hanya sebagai istri kedua atau kesekian. Dengan keluarnya anak dari rumah untuk menikah maka tak ada tanggungan keluarga memberikan makan bahkan sebaliknya sang anak bakal menjadi berkah karena sang suami akan menjadi saluran atau sumber rezeki.

Pernikahan dini juga dipicu oleh budaya dan cara pandang bahwa perempuan tidak baik melajang terlalu lama. Tidak ada sebutan “perjaka tua” bagi lelaki yang melajang. Sebaliknya sebutan “perawan tua” sangat dihindari kaum perempuan, terutama di kampung-kampung, sehingga mendorong para gadis untuk cepat mendapatkan pasangan atau orangtua menjodohkan anaknya.

Setelah menikah, pihak perempuan juga yang lebih berpotensi menanggung beban. Nikah dini jelas menghilangkan kesempatan menikmati masa anak-anak, mendapatkan pendidikan, serta membatasi kemampuan anak untuk berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi. Bagi perempuan, nikah dini dapat menyebabkan komplikasi kehamilan dan kelahiran yang menyebabkan kematian pada perempuan usia 15-19 tahun, risiko meninggalnya bayi yang lahir lebih tinggi, kehamilan pada usia remaja memiliki pengaruh negatif terhadap status gizi ibu dan anak yang dilahirkan.

Anak-anak yang menikah sebelum usia 18 tahun biasanya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka juga berpendidikan rendah, dan berpotensi untuk putus sekolah. Menurut data BPS dan UNICEF tahun 2016, sebanyak 85 persen anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah menikah.

Pernikahan dini yang dilandasi keterpaksaan dari pasangan rawan oleh perceraian. Perempuan yang menikah di usia dini kemudian diceraikan bakal lebih malang nasibnya. Rata-rata mereka tidak mendapatkan pekerjaan untuk mandiri karena tidak punya pendidikan dan keterampilan yang cukup memadai untuk masuk di dunia kerja. Para perempuan seperti ini berpotensi dijerat oleh sindikat perdagangan manusia, atau masuk ke bisnis prostitusi bila tidak menjadi pembantu rumah tangga. Belum lagi nasib anak-anak korban perceraian yang membutuhkan bukan saja gizi, kesehatan, dan pendidikan, melainkan juga perhatian dan pendampingan. Jelas sekali bahwa persoalan pernikahan dini menjadi pemicu persoalan sosial lainnya.

Selain peran BKKBN yang terus menyosialisasikan pencegahan perkawinan dini, kita mengapresiasi lembaga atau badan yang memberikan perhatian kepada mereka yang kurang beruntung. Pemberian modal, pelatihan, serta pendampingan usaha bagi keluarga-keluarga tanpa kepala rumah tangga merupakan solusi yang perlu dilakukan berkesinambungan.

Sedangkan bagi perempuan-perempuan yang memilih mencari nafkah melalui profesi pekerja seks komersial, dilakukan pendekatan agar beralih profesi dengan diberi alternatif sumber nafkah pengganti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar